Di Indonesia, saya bisa hidup di luar ‘zona nyaman’, kadang-kadang. Tapi, ketika di luar negeri, saya HARUS hidup di luar zona nyaman SETIAP HARI.

1. Naluri (instinct) jadi lebih tajam!

Saat saya menginjakkan kaki di negara asing, di mana bahasanya bukan bahasa pertama atau kedua saya, di mana saya tidak tahu cara ‘naik angkot’nya, mau bertanya pun bahasa asing saya masih gelagapan pada awalnya, bahkan cara beli tiketnya masih belum familiar, di sini saya mulai mempercayai naluri saya untuk bertahan hidup. Terutama ketika saya liburan, dan memiliki kesempatan untuk travelling.

2. Banyak baca dan banyak tanya, supaya tidak malu

Kalau bicara masalah tugas kampus, saya merasa saya selalu dipenuhi dengan tugas. Tapi, ternyata di Amerika tugas saya JAUH LEBIH BANYAK! Di samping dengan tugas yang banyak tersebut, saya dituntut lebih mandiri saat mencari bahan-bahan tugas serta dituntut untuk BANYAK MEMBACA.
Meskipun, kampus dilengkapi dengan perpustakaan yang luar biasa dan akses internet dan printer tanpa batas, serta tutor yang bisa membimbing; saya dulunya terbiasa dengan cara ‘tradisional’ di kampus, di mana saya duduk, mendengar, menulis dan mengerjakan tugas sesuai dengan apa yang tertulis di buku.
Ketika di kelas luar negeri, banyak mahasiswa yang mengajukan pertanyaan. Akhirnya jadi malu sendiri kalau tidak punya pertanyaan, yang mana di tempat saya paling tidak dianggap belum membaca buku mata kuliahnya. Oleh karena itu, saya selalu berusaha membaca sebanyak mungkin. Dengan membaca setiap harinya, pengetahuan saya meroket!
Proses penyesuaian dari yang biasa disuapi sampai menjadi mandiri itu yang sangat berat. Pada akhirnya, pengalaman ini sangat bermanfaat untuk hidup saya, hingga saat saya menulis pengalaman ini.

3. Fleksibel masalah makan (bagian terpenting orang Indonesia!)

Di Indonesia, saya terbiasa dengan makanan di mana-mana. Mulai dari warung, penjual kaki lima keliling, sampai di bus dan kereta pun selalu bisa membeli makanan dengan harga yang relatif terjangkau. Atau kalau pulang ke rumah, orangtua biasanya memberi ‘oleh-oleh’, seperti beras, buah, dan bahan-bahan lainnya.
Ketika saya kuliah di Amerika, saya berada di kota yang tidak terlalu besar, di mana penduduknya tidak terlalu multikultural. Tidak ada penjual makanan keliling, yang ada home delivery,  dan tidak ada warung kecuali restaurant cepat saji. Selain itu, saya ‘dipaksa’ untuk makan makanan rasa ‘kebarat-baratan’.
Saat di Indonesia, di pikiran saya, makanan negara-negara barat seperti Pizza, Burger, Ayam Goreng, Kentang Goreng, Hot Dog, dll., terasa menggiurkan. Namun, ternyata makanan-makanan barat yang ada di Indonesia, bumbunya sudah dimodifikasi dan itulah mengapa rasanya menjadi ‘ketimuran’.
Ketika di Amerika, banyak makanan yang menggunakan bumbu yang tidak terlalu kuat rasanya. Bahkan banyak makanan yang rasanya hambar, karena biasanya orang barat tidak suka pedas dan asin (tidak semua negara barat lho…). Waktu berangkat ke luar negeri, banyak mahasiswa Indonesia yang membawa lebih banyak makanan di koper (daripada baju dan kebutuhan lainnya).
Atau solusinya, adalah memasak sendiri! Di sini saya belajar masakan-masakan Indonesia, yang bahkan sesederhana sop ayam, tempe goreng dan nasi goreng. Dan ini membuat saya belajar lebih banyak tentang masakan dari negara sendiri, lebih mandiri dan menghemat uang. Proses belajar memasak membuat saya kreatif mencari solusi memasak makanan enak dengan bahan-bahan seadanya 🙂

4. Kuliah untuk pengalaman, yang membantu kesuksesan karir dan pekerjaan di masa depan, WHY?

Di Indonesia, saya harus membayar uang kuliah saya (kecuali ketika saya mendapat beasiswa) untuk mendapatkan gelar, ijazah, dan keahlian. Dan sama halnya kuliah di luar negeri. Banyak yang bilang,

“Ngapain kuliah Sastra Inggris di Inggris?”, atau

“Sama aja kok, ambil jurusan Fisika di Surabaya dan di Amerika”
Jawabanya, “NO, IT IS NOT THE SAME”. Itulah mengapa kuliah di luar negeri adalah kuliah untuk mencari pengalaman. Kenyataan menunjukkan bahwa,

“mahasiswa yang memiliki pengalaman multikultural, mendapatkan tawaran pekerjaan jauh lebih banyak. Selain itu, kemungkinan untuk diterima di perusahaan, terutama perusahaan besar/internasional, jauh lebih besar pula"

MENGAPA?

Karena seseorang yang sering menghadapi budaya yang berbeda, akan membentuk cara hidup yang baru, di mana cara hidup yang baru ini meningkatkan pemikiran-pemikiran kompleks integratif. Pemikiran kompleks integratif mengacu pada ide-ide rumit yang berkaitan dengan perspekfit global (jauh lebih besar). Hal ini sangat mendukung perkembangan produktifitas kita sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan.

5. Menemukan ide-ide cemerlang

Tidak sedikit, mahasiswa Indonesia, atau mahasiswa internasional lainnya, yang pulang ke negara masing-masing dengan segudang ide untuk diterapkan di kampung halaman. Tidak hanya untuk bisnis, namun bisa juga untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas atau menjadi penulis. Dengan melihat hal-hal baru setiap hari, inspirasi untuk memulai sesuatu yang bermanfaat jadi lebih besar.
Mungkin saya tidak ingat lagi dengan pelajaran-pelajaran dari kelas-kelas saat kuliah di luar negeri, namun saya ingat sekali pelajaran-pelajaran hidup di atas. Dan jujur saja, setelah kuliah di luar negeri, saya merasa lebih pandai, tidak hanya karena kuliah di kampus yang ‘berkualitas’, tapi lebih persisnya, lebih pandai secara emosional.
Dan sains pun setuju dengan perasaan saya ini. Setelah pulang, saya melihat hal lama dengan perspektif baru. Kesimpulannya, kreatifitas adalah produk dari inspirasi. DENGAN KULIAH DI LUAR NEGERI, SULIT UNTUK TIDAK TERINSPIRASI!
Sumber : https://www.hotcourses.co.id/study-abroad-info/before-you-leave/5-fakta-mengapa-kuliah-di-luar-negeri-membuatmu-lebih-kreatif/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *